Selamat Datang Pengunjung di Blog Kemuakhian Bandakh Lima - Way Lima...!

Jumat, 06 Maret 2015

4 MACAM PAYUNG ADAT LAMPUNG

Dalam adat istiadat lampung terdapat alat perlengkapan adat, salah satunya penggunakan Payung adat yg dlm bahasa lampung disbt "TUDUNG".

Ada 4 macam payung adat lampung terutama di lampung pesisir cukuhbalak, waylima dan gunung alif (BANDAR LIMA):

1. TUDUNG GOBEKH, adalah payung adat yg di pakai oleh sebatin marga saat dilaksanakan tayuhan (pesta) adat. Biasa berwarna merah atau ungu. Menurut sejarahnya payung tsb merupakan perlambangan adanya pengaruh cina atau sriwijaya (budha) dalam adat istiadat lampung.


2. TUDUNG HANDAK, adalah payung adat berwarna putih yg pakai oleh sebatin tiyuh (bawahan sebatin marga) pada acara tayuhan atau ngarak dlm perkawinan sebatin. Setelah itu payung dipasang di depan pintu gerbang rumah adat bersama umbul2 putih_kuning dan payung agung. Jika kedua2nya dikembangkan menandakan hadirnya sebatin marga atau perwakilannya. Payung ini melambangkan pengaruh islam atau banten dalam adat istiadat lampung.


3. TUDUNG AGUNG, adalah payung adat yg berwarna kuning yg di pakai oleh raja jukkuan (suku kanan dan kiri) dalam suatu kesebatinan ketika prosesi adat ngarak dlm perkawinan adat lampung. Setelah selesai, dipasang di depan gerbang rumah adat bersama payung/tudung handak. Jika di kembangkan menandakan hadirnya sebatin marga atau perwakilannya. Menurut sejarahnya, payung ini melambangkan pengaruh india atau majapahit (hindu) dalam adat istiadat lampung.


4. TUDUNG HAKHONG, adalah payung adat lampung berwarna hitam yang dipakai oleh rakyat biasa dalam acara ngarak pada prosesi perkawinan adat lampung. Perlambangan payung ini mungkin tdk ada pengaruh dr mana pun, karena sebelum masa hindu-budha dan islam, warna hitam yg dijadikan warna dasar adat istiadat lampung atau di indonesia pada umumnya.


ATURAN PEMAKAIAN WARNA KEBUNG TIKHAI DAN PERLENGKAPAN ADAT LAINNYA DALAM ADAT ISTIADAT LAMPUNG PESISIR

Dalam adat lampung terutama pesisir atau saibatin, pemakaian simbol2 warna di atur pada saat tayuhan (pesta) adat baik saat pengangkatan sebatin, perkawinan atau acara khitanan.


Berikut merupakan peraturan adat yg harus di laksanakan mengenai pemakaian warna, baik di kebung tikhai (kain penutup dinding) atau pun kain di langit2 (kawikh), sarung kasur-bantal, penutup talam, katil dll.


1. WARNA PUTIH, digunakan oleh sebatin. Jika sebatin melakukan acara tayuhan, maka warna kebung tikhai banyak menggunakan warna putih dismping warna kuning dan merah. Hal tsbt karena menunjukan tempat penghejongan/duduk kebumian sebatin2 yg di undang. Sdkn warna kuning utk para raja jukkuan dan merah utk para khadin dan minak, dll. Biasanya jg sebatin yg diundang duduk bersama 2 raja jukkuannya di kebung tikhai putih.


2. WARNA KUNING, digunakan pada acara tayuhan raja jukkuan dr suatu kesebatinan. Warna kuning di letakan di ruang depan tamu2 undangan, sedangkan di ruangan dalam tmpt maju duduk memakai kebung tikhai putih. Yg menandakan hadirnya sebatin dan ratu dalam acara tsb. Disamping itu, digunakan kebungtikhai warna merah.


3. WARNA MERAH, digunakan oleh radin, minak dan lain2 pada acara adat lampung. Selain itu penggunaan kebung tikhai putih tdk digunakan, hanya ada kebung tikhai kuning di ruangan tengah tempat maju (pengantin) duduk. Hal ini menandakan hadirnya raja jukkuan di prosesi tsbt, krn merupakan anak buahnya (bawahannya).

ADAT KEBANDAKHAN LAMPUNG PESISIR

Menurut cerita turun-temurun, nenek moyang orang Lampung Pesisir/Peminggir berasal dari Lemasa Kepampang Tanoh Unggak atau lebih dikenal dengan Kerajaan Sekala Bekhak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.

Setelah kerajaan itu runtuh, mereka menyebar mencari tempat kehidupan yang layak bagi kelangsungan hidup keturunannya. Tempat yang mereka pilih adalah Muara sungai (Muakha) yang ada di tepi laut. Disana mereka mendirikan pemukiman baru dan membentuk sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan Bandar (Bandakh).

Dalam sistem pemerintahan adat tersebut (Sebatin kebandakhan), dibagi dalam beberapa kelompok yaitu Suku Dilom (Gedung), Suku Kiri, Suku Kanan dan Suku Tanjakh (Tanjakh = Menyebar). Kepala adat sebatin kebandakhan bergelar Batin/Dalom/Pangeran/Sultan, tergantung lama berdirinya kesebatinan dan jumlah anak buah (jumlah sebatin bawahan).

Sebatin tersebut membawahi 4 suku (Dilom/Gedung, Kiri, Kanan dan Tanjakh) yang diberi gelar Raja (Khaja). Sedangkan seorang Raja didampingi oleh beberapa Raden (Khadin), Minak, Kimas dan Mas. Sedangkan untuk berdirinya kesebatinan baru (bawahan sebatin bandakh) yaitu berasal dari Suku Tanjakh. Suku Tanjakh merupakan suku yang jenjang permukimannya sudah menyebar kepedalaman (membuka lahan permukiman baru yang jauh dari pantai). Sehingga jika kita perhatinkan susunan jenjang permukiman masyarakat Lampung Pesisir akan berbentuk seperti cabang-cabang pohon yang dimulai dari muara sungai.

Kesebatinan yang berdiri didaerah pedalaman (jauh dari muara sungai) sebagian besar lebih muda umur kesebatinannya dari pada kesebatinan bandakh (sebatin bawahan). Mereka yang dipedalaman tidak lagi dikenal dengan Kesebatinan Bandakh, tetapi lebih dikenal dengan Kesebatinan Marga. Tetapi seiring berjalannya waktu pada jaman penjajahan Belanda, nama Kebandakhan sering diganti juga dengan nama Marga.

Sebagai contoh Kesebatinan Bandakh yaitu di daerah Cukuh Balak dan sekitarnya, dikenal dengan “Bandakh Lima” (terdapat 5 kesebatinan Badakh) yang terdiri dari Bandakh Limau, Bandakh Badak, Bandakh Putihdoh, Bandakh Pertiwi dan Bandakh Kelumbayan. Sebagian dari keturunannya menyebar ke daerah pedalaman seperti ke Talang Padang yang dikenal dengan nama “Marga Gunung Alip”; Bulok, Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan Sebagian Gedong Tataan yang dikenal dengan nama “Kesatuan Adat Marga Way Lima”; dan Marga-marga lain di Punduh-Pidada dan Padang Cermin. Sehingga sampai saat ini didaerah marga tersebut dikenal nama Selimau, Sebadak, Seputih, Sepertiwi dan Sekelumbayan untuk mengingatkan asal usul mereka dari Cukuh Balak.

ADAT PERKAWINAN SEBAMBANGAN

a. Pengertian Sebambangan

Sebambangan” sering kali disalah artikan dengan nama “Kawin Lari”. Sehingga citra adat lampung ini menjadi jelek dimata masyarakat diluar suku lampung
yang tidak mengerti makna sesungguhnya dari arti Sebambangan.

Sebambangan adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua bujang dan gadis, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.

Sedangkan “Kawin Lari” dapat diartikan sebagai pelarian gadis oleh bujang dan langsung terjadi perkawinan tanpa musyawarah adat dan persetujuan orang tua si gadis, yang hal ini bertentangan dengan Syariat Islam. Jelas jika hal ini terjadi, jangankan agama, adat istiadat saja melarang hal tersebut.

Jika Sebambangan diatur oleh hukum adat dan perangkat adat, tidak bertentangan dengan Syariat Islam, dan bahkan memberikan keadilan kepada bujang gadis untuk memilih jodohnya karena akibat paksaan orang tua, sehingga dimusyawarahkan sampai diambil keputusan dan persetujuan kedua orang tua bujang gadis. Sedangkan “Kawin Lari” tidak diatur oleh hukum dan perangkat adat, serta tanpa persetujuan kedua orang tua baik bujang atau gadis sehingga bertentangan dengan Syariat Islam.

b. Peraturan Ngebambang

Hal-hal yang diatur dalam Ngebambang adalah sebagai berikut :

1. Gadis dilarikan oleh bujang (meskipun dalam satu kampung atau dekat rumahnya) ke rumah Kepala Adat si bujang. Dalam melarikan itu si bujang biasanya dibantu oleh beberapa orang dari keluarga si bujang dengan secara rahasia, sedang perempuan jika jaraknya jauh (keluar kampung) biasanya membawa kawan gadis yang dinamakan “Penakau”.

2. Ketika gadis itu akan pergi, harus meninggalkan uang yang diberi oleh si bujang tersebut sebanyak yang diminta oleh si gadis yang dinamakan ”Pangluahan” (pengeluaran), dan meninggalkan surat sebagai isyarat bahwa si gadis telah pergi “Nyakak” (dilarikan oleh si bujang).

3. Sesampainya gadis di rumah Kepala Adat kelompok bujang, pihak keluarga bujang melakuakn pemberitahuan, sambil membawa uang sebesar beberapa rupiah kepada Kepala Adat pihak perempuan yang dinamakan “Uang Penekhangan”.

4. Jika gadis sudah berada di rumah Kepala Adat kelompok bujang, maka gadis tesebut diberi perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat oleh keluarga si gadis atau untuk diambil kembali. Jika terjadi pengambilan kembali sebenarnya telah melanggar adat. Lama gadis itu berdiam di rumah Kepala Adat si bujang, biasanya menurut hitungan hari ganjil, yaitu 1, 3, 5, atau 7 hari (malam).

5. Biasanya keluarga si gadis menurut adat akan mencari anak gadisnya (meskipun sudah tahu) ke tempat di mana bunyi surat anaknya menunjukkan ia dilarikan bujang, ini dinamakan ”Nyussui Luut” (mencari jejak). Hal itu dilakukan dalam jangka paling lama 7 malam (jika tempat si gadis dan si bujang berjauhan).

6. Jika dalam tempo 7 malam keluarga si gadis tidak mencari anaknya (nyussul luut), maka keluarga bujanglah yang datang ke rumah si gadis menerangkan kesalahan-kesalahan karena melarikan anaknya. Biasanya keluarga si gadis akan menuntut denda atas pelarian anaknya (sebenarnya permintaan denda tersebut sebagai istilah atau basa basi saja, karena denda tersebut akhirnya akan kembali juga kepada kedua mempelai, baik digunakan untuk hajatan manjau pedom (pesta pernerimaan tamu dari pihak si bujang lepas perkawinan) maupun digunakan untuk pembeli alat-alat rumah tangga sebagai banatok (perabot rumah tangga yang dibawa oleh pengantin wanita / Maju).

7. Jika perundingan antara kedua keluarga pihak bujang dan si gadis telah cukup maka ditentukanlah waktu perkawainan (aqad pernikahan).

Adat Sebambangan sepertinya dikenal juga di luar suku Lampung, seperti yang terdapat dalam adat salah satu suku di kepulauan Nusatenggara (mungkin Lombok, Sumba atau Flores). Hanya namanya saja yang mungkin berbeda, tetapi hukum dan hal-hal yang diatur dalam adat “Ngebambang” hampir sama.

MACAM-MACAM PERKAWINAN SEMANDA

a. Pengertian Semanda

Semanda” menurut bahasa berarti “orang yang mengikuti”. Sedangkan menurut makna “Semanda” adalah seorang suami yang ikut dan tinggal di rumah pihak istri (matrilokal), sehingga suami menjadi bagian kelompok si istri begitujuga dengan adat istiadat, warisan dan keturunannya.

Jadi suami yang diambil istri dinamakan “Semanda”, sedangkan istri yang mengambil suami untuk di-semanda dinamakan “Ngakuk Khagah”. Hal ini diambil berdasarkan kesepakatan suami dan istri saat akan melakukan pernikahan, dikarenakan beberapa sebab misalnya si istri merupakan anak si mata wayang keluarganya (anak perempuan satu-satunya) atau alasan lainnya.

Adat perkawinan Semanda ini juga bisa dijumpai di luar suku Lampung, seperti di Minangkabau yang lebih dikenal dengan nama “Semande” atau “Semando”.

b. Macam-macam Semanda

Adapun macam-macam Semanda berdasarkan sebabnya adalah sebagai berikut:

1. Cambokh Sumbai atau dalam istilah diibaratkan “Mati manuk mati tungu, Bela way bela asahan”. Yakni suatu istilah yang dipakai untuk menamakan sesuatu bentuk perkawinan, jika seseorang laki-laki yang kawin mengikuti isteri (semanda) tetapi tidak membawa bekal apa-apa. Sehingga dia berserah diri sepenuhnya kepada pihak isterinya. Seandainya terjadi perceraian antara keduanya, maka si suami tersebut tidak akan mendapatkan apa-apa dari harta si istri meskipun ada hasil yang pernah mereka usahakan bersama, jadi suami tersebut pulang dengan tangan hampa “mulang ngusung jakhi sepuluh”.

2. Semanda Nunggu atau Semanda Ngababang, yaitu semanda untuk sementara waktu, selama perjanjian yang di sepakati. Biasanya semanda bentuk ini sambil menantikan adik-adik si istri yang masih kecil sampai mereka tamat sekolah, atau sampai adik laki-laki si isteri berkeluarga dan menantikan hal-hal lainnya. Setelah habis masa tunggu itu, maka boleh kembali ke kelompoknya bersama isteri.

3. Semanda Ikhing Beli, dimana dalam hal ini seorang laki-laki pernah melarikan isteri (ngembambang). Tapi ketika keluarga isteri tidak menghendaki anaknya diambil laki-laki tersebut keluarga tersebut menuntut bayar denda yang besar, si suami tidak kuasa/mampu membayar jujur yang besar itu, atau mungkin pula si suami memang orang miskin, dengan demikian maka keluarga isteri serta suami berdiam di rumah si isteri beberapa waktu lamanya, sampai dengan terbayarnya tuntutan denda yang diminta keluarga si isteri.

4. Semanda Geduk atau Semanda Tunggang Putawok atau dikenal dengan istilah Sai Iwa khua Penyesuk, Istilah semanda semacam ini sering dipakai untuk mengistilahkan suatu bentuk perkawinan yang mengambil jalan tengah, yakni seorang laki-laki yang beristeri tapi tidak tinggal di rumah isteri, begitu juga isteri tidak berdiam di rumah suami. Suami datang ke rumah isteri jika hendak berkumpul dengan isterinya saja. Tetapi biasanya keadaan ini tidak berlangsung lama (hanya beberapa bulan saja dari perkawinan), maka setelah itu istri baru ikut suami.

5. Semanda Khaja-Kaja, ini merupakan bentuk yang paling unik diantara jenis Semanda lainnya karena menurut adat Lampung Saibatin, Raja tidak boleh Semanda (Cambokh Sumbai), ini terjadi karena Seorang anak Tua yang harus mewarisi tahta keluarganya Semanda kepada Seorang Gadis yang juga kuat kedudukan dalam adatnya, dan Sang Gadis tidak akan di izinkan untuk pergi ketempat orang lain.

ACARA MANJAU PEDOM DALAM ADAT LAMPUNG PESISIR

a. Pengertian Manjau Pedom

“Manjau Pedom” menurut bahasa berarti “Bertamu Sambil Menginap”. Tapi jika kita tahu hanya dari bahasanya saja, maka istilah manjau pedom ini bagi orang yang belum mengerti adat istiadat Lampung Pesisir itu merupakan suatu yang tidak perlu dilakukan dan membuang-buang waktu saja. Adat Majau Pedom hanya terdapat pada masyarakat adat Lampung Pesisir (Saibatin), sedangkan adat Pepadun tidak memakai adat ini.

“Manjau Pedom” menurut maknanya adalah adat istiadat perkawinan dalam masyarakat Lampung Pesisir yang mengatur tentang bertamunya pihak besan yang mengambil istri/suami ke rumah besan yang anaknya diambil, pada waktu setelah aqad nikah dan menginap 1 malam.

b. Peraturan Manjau Pedom

Peraturan Manjau Pedom mungkin agak berbeda disetiap tempat /marga dalam lingkungan masyarakat Lampung Pesisir, tetapi mempunyai makna yang sama.

Peraturan Manjau Pedom diantarnya adalah sebagai berikut:

1. Manjau Pedom dilakukan oleh pihak besan yang mengambil istri/suami ke rumah besan yang anaknya diambil dan menginap 1 malam.

2. Manjau Pedom biasanya dilakukan antara 1 hari sampai 7 hari dari waktu setelah aqad nikah.

3. Pihak yang datang untuk Manjau Pedom biasnya terdiri beberapa orang dari keluarga/saudara dari pihak suami atau paling sedikit 2 orang perwakilan tetua (orang tua) dan 2 orang gadis dari pihak suami yang menemani suami menginap 1 malam di rumah pihak istri.

4. Setelah menginap 1 malam, lalu rombongan pihak suami yang Manjau Pedom dan rombongan yang lain yang menyusul datang untuk membawa si istri ke rumah pihak si suami untuk melakukan pesta adat perkawinan di kelompok suami.

Untuk lebih jelasnya(salah satu contoh Adat Manjau Pedom di Marga Way Lima) perhatikan contoh di bawah ini :

“Ali akan menikah dengan Siti. Maka keluarga Ali melakukan pelamaran kepada pihak keluarga Siti, dan pihak keluarga Siti menerimanya. Maka Ali dinamakan “Ngakuk” dan Siti dinamakan “Nyakak”. Setelah itu dilakukanlah aqad nikah di rumah keluarga Siti, dan Ali beserta rombongan dari pihak keluarga datang ke rumah Siti. Dalam rombongan pihak Ali tersebut ada sekitar 4 orang (2 orang tetua yang biasanya ibu-ibu dan 2 oarang gadis) yang akan menemani suami Manjau Pedom setelah aqad nikah dilakukan, sedangkan sisa rombongan lainnya pulang. 4 orang beserta suami itu menginap di rumah pihak istri 1 malam. Ke esokan harinya, kelompok dari pihak suami datang lagi untuk menyusul 4 orang beserta suami dan membawa si istri ke rumah kelurga suami. Dalam acara perlepasan tersebut biasnya terjadi suasana haru bagi pihak keluarga istri, karena sekarang si istri menjadi bagian pihak suami yang akan dibawa dan tinggal di rumah suami. Selain itu juga, istri yang akan dibawa oleh suaminya itu membawa barang-barang perabot rumah tangga seperti pakaian, lemari, dipan, kursi, dan perabot rumah tangga lainnya yang disebut “Benatok”. Setelah istri dibawa ke rumah suami, maka di rumah suami di lakukan pesta adat perkawinan “Ngakuk” yang biasnya ditandai dengan dibuatnya makanan Lepot, ngebubur, kekuk dan bahkan dibuat kue tua (khas adat lampung). Pada malam harinya di lakukan Acara Adat Manjau Maju (Menjenguk Penganten Wanita) yang dilakukan oleh tetua ibu-ibu dari lingkungan sekitar rumah suami, tujuan acara ini sebagai tempat memperkenalkan istri dari si Ali yang akan menetap di lingkungan kelompok suami. Dan pada ke esokan harinya, dilakukan Acara Adat Ngarak (Mengarak Pengantin Pria dan Wanita) dari tempat tetua Adat ke rumah Ali yang juga dihadiri dari pihak keluarga dan kelompok si istri. Dan jika keluarga Ali merupakan keluarga Sebatin di lingkungannya (Ali merupakan penerus Sebatin) , maka di samping Ngarak maka di lakukan juga Pincak Khakot (seni pincak silat lampung), atau bahkan ada Tari Kesekh (Tari menyambut tamu agung yang dilakukan oleh beberapa orang gadis) dan lain-lain, sehingga acara adat ini disebut “Nayuh Balak”.

c. Manfaat Manjau Pedom

Suatu Acara Adat tentunya mempunyai tujuan dan manfaat di dalamnya, adapun manfaat dari Manjau Pedom antara lain :

1. Sebagai cara menghormati pihak keluarga besan yang anaknya diambil (diakuk hulun). Jika misalkan setelah aqad nikah, anak wanitanya langsung diambil pihak suami, jelas hal ini merupakan suatu perkara yang tidak sopan dan tidak menghormati keluarga si wanita. Maka untuk lebih menghargai dan menghormati keluarga si wanita yang akan diambil maka dilakukanlah Manjau Pedom (menginap 1 malam).

2. Pada kesempatan ini juga, si suami akan mengetahui dan mengenal lebih dekat keluarga si istri, mana yang adik, kakak, bapak, ibu, kakek, nenek, paman, bibi dan saudara lainnya. Sehingga suami menjadi penghubung bagi keluarga dan saudaranya apabila keluarga suami belum mengenal jelas keluarga si istri. Di sini juga biasanya tetua pihak istri menjelaskan asal-usul keluarganya kepada suami, sehingga lebih mengenal dan menjaga hubungan baik keluarga.

3. Sebagai waktu memberikan nasehat kepada suami dan istri dari para tetua pihak istri untuk menjalankan rumah tangga yang harmonis dan bahagia.

4. Sebagai tempat memberikan hibah (hadiah) dari pihak istri kepada kedua mempelai dan untuk mempersiapkan barang perabot rumah tangga yang akan dibawa oleh si istri sebgai “Benatok”.

ADOK DALAM MASYARAKAT LAMPUNG PESISIR

A. Berdirinya Ke-sebatinan

Adok adalah merupakan gelar adat Lampung yang diberikan kepada seseorang (tergantung kedudukan dan fungsinya) pada masyarakat adat di dalam Ke-sebatinan. Pada masyarakat adat Lampung Pesisir, adok tidak diberikan kepada seseorang serta merta melainkan harus mempunyai (telah berdiri) kesatuan masyarakat adat yang diberinama Ke-sebatinan.

Berdirinya Ke-sebatinan ini juga harus melihat asal marga dan silsilah keturunan dari orang yang akan diangkat menjadi Sebatin. Orang yang akan diangkat menjadi Sebatin adalah keturunan lurus laki-laki tertua pada masyarakat setempat. Jika laki-laki tertua tersebut telah meninggal atau sebab lainnya dan tidak mempunyai keturunan, maka diambil saudara laki-laki tertua nomor dua.

B. Pengambilan Adok (Gelar Adat)

Adapun pengambilan adok harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengambilan adok pertama untuk berdirinya ke-sebatinan harus memperhatikan asal marga dan silsilah keturunan dari orang yang akan diangkat menjadi Sebatin.
2. Pemberian adok harus sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat adat (tingkatan adok).
3. Seseorang atau beberapa orang diberi adok pada saat pernikahan anak lelaki dari keluarga tersebut, maka adok yang diberikan dinamakan Adok Ngukha (Gelar Muda). Sedangkan bagi orang tua yang telah mempunyai menantu pertama , maka adok yang diberikan dinamakan Adok Tuha (Gelar Tua).
Contoh:
Kepala suku kanan bernama Abdurahman mempunyai adok (adok ngukha) yaitu Khaja Mangku Bumi. Ia mempunyai anak laki-laki tertua bernama Ali. Ketika Ali menikah dia diberi adok(adok ngukha) yaitu Khaja Mangku Marga. Sedangkan ayahnya (Abdurahman) diberikan adok tua yaitu Patokan, dan gelar Raja-nya diberikan kepada anaknya yaitu Ali. Sehingga Ali yang bergelar Khaja Mangku Marga adalah pemimpin suku kanan yang baru.

C. Tingkatan Adok

Adapun tingkatan adok (gelar adat) pada masyarakat Lampung Pesisir yaitu :

BANGSAWAN (PANDIA PAKUSAKHA)

*Bangsawan Tinggi :
- Suntan / Sultan ………………. Ratu Agung
- Pengikhan ……………………. Ratu
- Dalom Pengikhan ……………. Batin Ratu
- Dalom ………………………... Batin
- Batin …………………………. Batin
*Bangsawan Menengah :
- Khaja ………………. ……….. Khadin
- Khadin ……………………….. Khadin/Minak
- Minak ………………………… Enton
*Bangsawan Bawah :
- Kimas ………………. ……….. Mas
- Mas …………………………… Mas Ayu

PUNGGAWA (KHAKHAYAKHAN)

- Mentekhi/Jaga ………………… Adi/Ayi
- Cahaya/Pukhba ……………….. Khayi/Sinji
- Jimpang/Layang ………………. Pancalang/Malilia
- Bunga/Muda …………………... Dayang/Bunga

D. Macam-macam Senggaya Adok

SENGGAYA ADOK KHAGAH

Adipati, Agung, Alam, Alip, Andalan, Bahasa, Bakti, Bangsa, Bangsawan, Batin, Bebas, Bendara, Berlian, Besar, Bintara, Buai, Buana, Budiman, Bujangga, Bumi, Cahya, Dalom, Darma, Darmala, Demang, Dermawan, Desa, Dilaga, Diwa, Gama, Gomontor, Gumuruh, Haluan, Hirang, Hukum, Hulubalang, Imba, Indera, Intan, Isunan, Jaga, Jaksa, Jaya, Jiwa, Kalipah, Kanggu, Kapitan, Kecacah, Kelana, Kemala, Kesuma, Kerama, Kunci, Laksamana, Liyu, Mandala, Malila, Mangku, Mangkuta, Marga, Mas, Menanti, Mengunang, Mincar, Muda, Mulia, Murip, Negara, Negeri, Ngasisa, Ningrat, Nirwana, Niti, Nurjati, Nursiwan, Nyinang, Padoman, Paduka, Panglima, Panji, Paksi, Paku, Pastiti, Patih, Pecalang, Pejor, Pelita, Pemuka, Penata, Pendita, Pengiman, Pengiran, Penyimbang, Perbasa, Perdana, Perwira, Punggawa, Purba, Purnama, Pusaka, Pusiban, Pusirah, Putera, Raja, Rajasa, Ratu, Rusia, Sabungan, Sangkiman, Sangun, Santeri, Sari, Sarih, Sebuai, Sehari, Sejati, Sekudi, Selaka, Selinggang, Semberani, Sempurna, Senanti, Senapati, Sengaji, Seniti, Senimbang, Sentika, Sepulah, Seruni, Setia, Setiawan, Simbangan, Singa, Suara, Suhunan, Suku, Suntan, Surya, Syah, Taji, Tangga, Tinggi, Tumenggung, Ulangan, Unjunan, Utama, Wijaya, Wira, Ya, Yuda.

SENGGAYA ADOK BEBAI

Akuan, Angguan, Anggin, Ayu, Bahagia, Basiyah, Berlian, Buai, Buana, Cahya, Cempaka, Cendana, Dalom, Delima, Dengian, Dian, Enton, Galuh, Hariya, Indah, Jamanton, Jamidah, Jamilah, Jaminah, Jasimah, Jasiyah, Jumami, Juwita, Kamilah, Kasijah, Kasimah, Kasiyah, Kekunang, Kencana, Kesuma, Kumbang, Lamidah, Laminah, Lamisah, Lamiya, Linggam, Liyah, Luwih, Malati, Malila, Maliyah, Mantiara, Marga, Mas, Masibah, Masidah, Masijah, Masinah, Masiyah, Midah, Minah, Misah, Mustika, Nerang, Nirmala, Nurcahya, Permata, Rayi, Riya, Sakinah, Samidah, Samijah, Saminah, Samiyah, Saniyah, Salijah, Saliyah, Satibah, Satijah, Satiyah, Selaka, Sari, Siar, Sibah, Sidah, Sijah, Simah, Sinah, Sinang, Sirian, Siti, Siyah, Sugihan, Tindayan, Ulihan.

PERANAN BUJANG-GADIS DALAM ADAT LAMPUNG PESISIR

A. Peranan Bujang-Gadis

Bujang-gadis atau muli-makhanai (muli = gadis, makhani = bujang) merupakan kelompok individu yang amat penting bagi kehidupan masyarakat di kalangan hukum adat, karena bujang gadis sebagai remaja yang amat peka dan mudah emosi jika sedikit saja hak mereka tidak dipenuhi.

Kadang-kadang karena suatu kepentingan yang kecil-kecil saja mereka secara sepontan mengadakan tindakan sebagai reaksi dan koreksi praktis terhadap pelanggaran hak mereka.

Meski demikian bujang-gadis dalam banyak hal amat berperan (mempunyai kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka) terutama dalam pesta. Banyak pekerjaan yang sesungguhnya berat dan perlu biaya untuk menyelesaikannya, tapi dengan dikerjakan secara gembira dan santai oleh bujang-gadis, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik.

B. Kewajiban-kewajiban Bujang Gadis

Kewajiban-kewajiban ini biasanya berlaku ketika diadakan suatu hajatan (pesta) perkawinan, manjau pedom, nyunat, dll.

Kewajiban-kewajiban bujang-gadis tersebut antara lain yaitu:

1. Kahibos, mencari pucuk aren yang akan digunakan oleh yang berhajat untuk lepot (lepat). Kewajiban ini khusus bagi bujang (makhanai).

2. Nyakhak, memisahkan antara lidi dengan helai daun kaung atau hibos (pucuk aren yang masih berwarna kuning gading) dan membelah lidi tersebut. Ini dikerjakan oleh bujang-gadis berhadapan sambil santai. Bujang-gadis biasanya memakai pakaian yang indah, bagus dan menarik. Para gadis memakai kebaya, dihiasi dengan kacing-kancing emas dolar, berjejer dari atas dada sampai ke perut, dan dengan selendang warna warni yang menarik dan menyenangkan. Para bujang memakai kemeja, celana yang dilengkapi dengan salimpat (sarung yang digulung sampai menutupi celana di atas lutut), dan memakai kopiah.

3. Biasanya tamu dari luar kampung mendapat kehormatan untuk dipersilakan masuk terlebih dahulu. Ketika ini amat menyenangkan bujang-gadis dan banyak yang mencari kesempatan untuk medapatkan jodo, dengan umpamanya: saling berbalas pantun, surat-menyurat, sindir-menyindir, dan ada yang malah mengikat janji.

4. Nyaccak, (menumbuk beras dengan alu di dalam lesung agar menjadi lebih putih dan lebih bersih). Ini dikerjakan oleh bujang-gadis dengan santai, sambil juga berbalas pantun, tegur menegur dengan menyindir, memuji dan sebagainya. Bagi yang mencari jodo ketika ini adalah suatu kesempatan yang sangat baik untuk saling berkenalan dan kalau setuju dapat mempereratnya di lain kesempatan. Bagi gadis-gadis maupun bujang-bujang layaknya pesta, juga memakai pakaian yang baik dan menarik. Karena pekerjaan ini dilakukan secara santai dan di ajang (kalasa) bujang-gadis, maka pekerjaan yang berat-berat menjadi tanggung jawab bujang-gadis dari kelompok yang berehajatan, sedang yang ringan-ringan oleh bujang-gadis (muli-makhanai) tamu.

5. Nutu gekhpung, ialah menumbuk beras atau ketan menjadi tepung, biasanya digunakan untuk membikin kue atau bubur (kekuk).

6. Kabulung, mencari daun untuk pembungkus. Pekerjaan ini dilakukan oleh bujang-gadis ke kebun atau ke bukit dengan santai dan sambil bersenda. Tentu saja Kepala Muli-Makhanai bertanggung-jawab atas kelancaran acara ini, sehingga tidak terjadi hal-hal yang melanggar kesopanan dan adat istiadat.

7. Tandang, mencari sayur mayur diladang atau kebun. Biasanya acara ini sekaligus dilakukan bersamaan dengan acara kabulung.
8. Buasakh-asakhan, ialah membersihkan alat-alat atau perkakas-perkakas bekas pesta, seperti tikar, alat-alat dapur dsb. Pekerjaan ini dilakukan juga dengan santai dan dengan senda gurau. Meski santai, pekerjaan yang sesungguhnya memerlukan tenaga dan biaya ini dapat diselesaikan dengan baik oleh bujang-gadis.

C. Hak-hak Bujang-Gadis

Disamping kewajiban-kewajiban tersebut bujang-gadis mempunyai hak-hak, antara lain yaitu :

1. Manjau muli, dalam pesta-pesta nukhunko maju (pada pertama kali penganten gadis turun dari rumah Kepala Adat ke rumah si penganten laki-laki), bujang dapat kesempatan ke ruang (lantai bagian dapur) untuk melihat-lihat dari jauh para gadis yang sedang mengadakan pengajian barzanji, assala, dan beradu pantun. Meski dari jarak beberapa meter, para bujang merasa bahagia dan terhibur mengintai dan memandang gadis-gadis manis yang memakai pakaian serba bagus di ruang tengah.

2. Nganik kekuk, sebagai imbalan bagi mereka yang telah mengerjakan nutu gakhpung (numbuk tepung), maka bujang-bujang datang sambil melihat gadis dari ruangan dapur, serta di beri hidangan kekuk (bubur yang terbuat dari tepung ketan).

3. Makan terutama tamu-tamu dari luar kampung berhak diberi makan selesai mengerjakan pekerjaan, nyakhak, kahibos, nutu gakhpung, nyaccak, dll.

4. Berhak memperoleh caluk (tangan dan kaki kerbau sebanyak hitungan kerbau yang disembelih pada pesta itu) umpama kerbau 3 = 3x4 = 12 caluk, dan berhak pula mendapat “Pangan” (makan di penghujung pesta dengan hidangan yang lengkap).

5. Sekuwakhian, adalah suatu istilah yang dipakai oleh adat Lampung untuk menamakan suatu pertemuan bujang dengan gadis, biasanya beberapa bujang, duduk bersimpuh (bersila) berhadap-berhadapan di rumah si gadis. Sekuwakhian juga bisa dilakukan pada suatu kesempatan dalam acara pesta adat.

6. Bagi bujang-bujang dari luar kampung untuk sekawakhian ini harus melalui Kepala Bujang, kemudian kepala bujang itu meminta izin kepada orang tua si gadis.

7. Bagi bujan-bujang di dalam kampung untuk manjau/ bertamu/sekawakhian dengan si gadis di dalam kampung sendiri, tidak melalui kepala bujang, melainkan boleh minta sendiri dari balik pintu dapur.

8. Permintaan bujang yang ditolak oleh ayah si gadis untuk sekuwakhian lebih dari 3x berturut-turut, tanpa suatu alasan yang tepat, diberikan sanksi denda oleh Kepala Adat, yaitu ayah bujang tersebut diwajibkan membayar denda sesuai dengan peraturan yang berlaku.

9. Akibat perkembangan dan pengaruh dari luar atau sebab malu terhadap orang tua si gadis jika terlalu sering bertamu di rumah si gadis maka timbullah suatu istiadat nyambang (berbicara dari balik kamar atau bilik) si gadis dengan jalan amat rahasia, agar jangan sampai diketahui oleh keluarga atau orang tua si gadis. Dalam pada itu ada sebagian bujang yang iseng, pura-pura bertindak sebagai orang tua si gadis ngalalakun (menyorot dengan lampu baterai yang terang) ke arah si bujang, bahkan kadang-kadang sambil melempar dengan batu. Tak karuan si bujang terpontang-panting lari meninggalkan tempat itu.

Catatan:

mungkin pula cara nyambang ini terjadi, karena kuatnya ajaran agama (Islam) dalam adat istiadat masyrakat Lampung, agar dalam berbicara dengan lawan jenis yang bukan muhrim dilakukan dari balik tabir.

Agaknya peraturan bujang-gadis seperti itu sudah begitu diabaikan oleh masyarakat, sehingga terjadilah hal-hal yang kurang sopan. Maka untuk perkembangan masa ini setelah banyak bujang gadis yang ke luar dari kampung dan atas pengaruh-pengaruh kota, bujang gadis sudah mulai terbiasa bertemu di beranda, bertamu secara lebih sopan di ruang tamu.

BUDAYA “NAMONG’ DALAM MASYARAKAT ADAT WAY LIMA

Namong” berasal dari kata dasar “Tamong”, yang artinya orang yang dituakan, dihormati dan diagungkan (seperti kakek, nenek atau buyut). Mungkin pada jaman dulu Tamong dalam bahasa lampung kuno disebut dengan “Phu-Yang” (orang yang dituakan dan dihormati) atau “Umpu” (anak cucu yang masih hubungan darah atau keturunan).

Sedangkan arti dari kata “Namong” menurut bahasa berarti mempunyai Tamong atau ber-Tamong. Tapi menurut makna, “Namong” adalah seorang anak ber-Tamong kepada seseorang (masih hubungan darah) yang diharapkan menjadi penerus sifat kebaikannya (kearifan, kedermawanan dan kebijaksanannya). Budaya “Namong” ini hanya ditemukan dalam masyarakat Adat Lampung Pesisir Pemanggilan Marga Way Lima yang tersebar di 4 kecamatan yaitu Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan sebagian Gedong Tataan.

Anak yang telah diberi nama dalam syukuran, biasanya langsung juga diberi Namong-nya. Adapun ketentuan Namong-an adalah sebagai berikut :

1. Harus ada hubungan darah (keturunan) baik dari pihak bapak atau ibu si anak. (contohnya : Kakek dan Nenek dari pihak ibu atau bapak, atau Kakek dan Nenek dari pihak paman /sepupu ibu atau bapak).

2. Anak yang ber-Tamong kepada seseorang, syaratnya harus beda 2 generasi. ( contohnya : Cucu dengan Kakek atau Nenek).

3. Anak laki-laki dengan kakek, sedangkan anak perempuan dengan nenek.

4. Anak laki-laki Namong kepada seorang kakek, maka kakeknya memanggil anak tersebut dengan sebutan “Sabai Kuya”, dan neneknya memanggil kepada anak tersebut dengan sebutan “Enggom”. Sebaliknya begitu juga pada anak perempuan yang Namong kepada seorang nenek, neneknya memanggil “Sabai” dan kakek memanggil ”Enggom”.

5. Begitu juga anak tersebut dipanggil oleh anak dari kakek atau nenek yang di-Namong-kan. Jika anak itu laki-laki, maka anak dari kakek atau nenek memanggilnya “bapak” dengan maksud menuakan dan menyayangi. Dan juga jika anak itu perempuan, mereka akan memanggil “Induk”. Tapi orang tuanya (bapak ibu) tetap memanggil dengan sebuatan biasa kepada anak tersebut, walaupun anak tersebut namong kepada kakek atau neneknya sendiri, tapi panggilan itu hanya dari paman dan bibinya saja.

6. Kepercayaan dulu, jika Anak (bayi) tersebut setelah diberi nama dan Namong, biasanya sering sakit-sakitan. Maka biasanya di-isyaratkan bahwa anak itu tidak menerima ke-Namong-annya. Lalu Namong-annya diganti dengan yang lain, dan baru anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi.

Kesimpulan:

Kesimpulan yang dapat diambil dari artikel budaya ini adalah sebagai berikut:

1. Mungkin secara filosofi, tujuan adanya budaya “Namong” ini adalah pewarisan sifat kebaikan yang dimiliki kaum tetua kepada kaum generasi muda, agar generasi muda menjadi lebih baik dalam membangun masyarakatnya.

2. Budaya “Namong” juga menunjukan kepada kita bahwa adanya rasa kasih sayang yang luhur dari pihak tetua kepada kaum muda sebagai generasi penerus, sehingga anak tersebut tidak kehilangan rasa kasih sayang dari kecil sampai dewasa, walaupun ibu bapaknya telah tiada.

3. Kita perlu menjaga dan melestarikan budaya “Kearifan Lokal”, yang masih terikat kuat pada kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan menjaga kearifan lokal tersebut, akan berguna sebagai filter bagi masuknya budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa dan sejalan dengan Agama Islam.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA - KECAMATAN CUKUH BALAK

I. GEOGRAFIS

Di ujung selatan Sumatera, sepanjang pantainya terjal, diselang-selingi oleh lembah sempit yang dilingkari bukit-bukit, hijau penuh tanaman: cengkeh, dan beraneka pohon buah-buahan. Lautnya tenang bagai kaca, bak talam emas yang digelar bila sore tiba. Bukit-bukit itu nampak biru dari kejauhan. dan di bawah bukit-bukit itu sungai-sungai yang berliku, jernih airnya, subur tanahnya.

Di sanalah sekelompok manusia telah memilih tempat tinggal, hidup dengan anugerah Tuhan yang melimpah, tanah subur dengan musim buah-buah yang silih berganti. Mereka bercocok tanam dan bertani. Pada waktu-waktu senggang menanti panen, ada yang berdagang dan tak sedikit yang menjadi nelayan, memancing dan menjala. Dan Tuhan tak henti-hentinya mengucurkan rezeki; musim buah berganti musim cengkeh, lalu menyusul musim-musim: ikan, siput, rebon, udang dan cumi.

Kampung-kampung itu memanjang dari hilir ke mudik mengikuti lekuk-liku tepi-tepi sungai berlembah sempit, Kumpulan kampung-kampung itu berupa marga dan dari beberapa marga terciptalah satu pemerintahan Kecamatan.

Kecamatan ini telah berdiri sejak zaman Belanda “Kecamatan Cukuhbalak”. Batas-batas wilayahnya:

1. Sebelah barat berbatasan dengan Batubalai/wilayah Kecamatan Kotaagung.

2. Sebelah timur dengan Lengkukai / wilayah Kecamatan Padangcermin.

3. Sebelah selatan dengan lautan Indonesia dan sebuah pulau, Pulau Tabuan yang masih termasuk wilayah Kecamatan Cukuhbalak.

4. Sebelah utara dengan Tanjungsiom batas kecamatan Pardasuka.

Wilayah kecamatan yang merupakan daerah marga ini terdiri dari beberapa kampung. Marga merupakan daerah adat yang dikepalai oleh Kepala Adat yang menguasai beberapa suku adat (sabatin), Sabatin dikepalai oleh Penyimbang Batin yang membawahii beberapa kelompok yang lebih kecil (suku), sedang kampung dikepalai oleh Kepala Kampung selaku pemerintah Republik Indonesia, di bawah Camat.

Dalam wilayah Kecamatan Cukuhbalak terdiri dari lima 5 Marga:

1. Makhga Putih, sebagai ibukota Kecamatan Cukuhbalak terletak di Putihdoh. Marga putih terdiri dari 7 kampung: Putihdoh, Tanjungbetuah, Banjakhmanis, Pampangan, Kacamakhga, Sawangbalak, dan Kakhangbuah.

2. Makhga Pakhtiwi, terdiri dari 10 kampung, yaitu: Sukapadang, Kejadian Lom/Luah, Gedung, Banjakhnegekhi, Sukakhaja, Tanjungkhaja, Tanjungjati, Waikhilau dan Tengokh.

3. Makhga Kelumbayan, terdiri dari 7 kampung: Negekhikhatu, Pekonsusuk, Pekonunggak, Penyandingan, Paku, Napal, Lengkukai.

4. Makhga Badak, hanya terdiri dari satu kampung Badak, karena penduduknya banyak berpindah ke tempat lain (ke Wayawi Kedondong dll).

5. Makhga Limau, terdiri dari 7 kampung, yaitu; Kukhipan, Padangkhatu, Banjakhagung, Tegineneng, Pekonampai, Antakhbekhak, Tanjungsiom.

Jumlah penduduk wilayah ini dalam sensus sampai dengan tahun 1978, sekitar 30155 jiwa, terdiri dari 10288 jiwa laki-laki dewasa, dan 10124 jiwa perempuan dewasa, 4980 anak laki-laki, dan 4699 anak perempuan. Jumlah kampung sebanyak 32 buah membawahi 75 kepala suku yang terdiri dari 5388 kepala keluarga. Agama penduduk asli 100% beragama Islam.

Catatan: Sejak otonomi daerah digalakkan, beberapa marga dikembangkan menjadi Kecamatan, sehingga kini telah berdiri: Kecamatan Kelumbayan, Kecamatan Limau, Kecamatan Pertiwi dan Kecamatan Pulau, dan Kecamatan Cukuhbalak yang beribukota di Putihdoh.

II. SEJARAH

Asal-usul penduduk kecamatan Cukuhbalak serta sejarah berdirinya kampung-kampung di wilayah kebandaran Lima Kecamatan Cukuhbalak adalah diawali oleh menyebarnya para bangsawan dari reruntuhan Kerajaan Besar “Skalabkhak” yang terletak di sekitar Liwa Lampung Utara, terkenal dengan sebutan “Tanohunggak”. Kerajaan Skalabkhak yang besar di Lampung di samping Kerajaan Talangbawang itu belum didapat data yang pasti kapan dan bagaimana lenyapnya. Diperkirakan adalah akibat perluasan Kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Palembang.

Bekas-bekas dan pengaruh kerajaan ini masih sangat berkesan di kalangan penduduk suku Lampung, karena kerajaan ini tidak lenyap begitu saja, melainkan berganti menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berbentuk keratuan (kedatuan) sebagai sumber adat yang masih berlaku sampai sekarang di daerah Lampung.

Keratuan-keratuan yang terkenal antara lain:

1. Keratuan Puncak, ibukotanya sekitar Sangukpatcak di lingkungan ibukota Skalabkhak.

2. Keratuan Pugung, ibukotanya Pugung Mengandung Sukadana, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan sampai daerah-daerah sekitar Tanjungtua.

3. Keratuan Balau, ibokotanya terletak di Gunung Jualang di daerah Timur Kota Tanjungkarang.

4. Keratuan Pemanggilan Keratuan ini ibukotanya di sekitar hilir kota Martapura (sekarang termasuk daerah/wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Keturunannya tersebar di sekitar Sungai Komering (Sumatera Selatan), Krue, Liwa, dan sekitarnya (Lampung Barat), Teluk Semangka (Tenggamus), Telukbetung, Kalianda (Lampung Selatan).

Meskipun keturunannya tersebar dan terpencar-pencar namun mempunyai satu rumpun bahasa yaitu bahasa Lampung Pesisir. sebab itu, ada persamaan antara bahasa Komering dan bahasa Lampung Pesisir utara di Krue dan sekitarnya serta Lampung Pesisir selatan di wilayah Lampung Selatan dan sekitarnya.

Dilihat dari sejarahnya, Cukuhbalak termasuk Keratuan Pemanggilan karena terletak di daerah Teluk Semangka, begitu juga bahasanya memakai bahasa Lampung Pesisir (Lampung Pesesekh).

Dalam Kecamatan Cukuhbalak terdapat lima Kebandaran terkenal dengan sebutan “Pesesekhlima” atau “Bandakhlima” karena kebandaran ini berjumlah Lima dan terletak di pesisir (di pantai lautan), yaitu:

A. MAKHGA PUTIH

Marga Putih, terdiri dua kebandaran yaitu: Kebandaran Putihdoh, dan Kebandaran Putihunggak. Putihdoh terdiri dari 7 sabatin (tiap-tiap sabatin
mempunyai pemerintahan dan hak otonom untuk mengatur kepentingan lingkungan sendiri), yaitu: Sabatin Kedaloman (Bandakh), Pekontengah, Gedung, dan Mandawasa. Sedang Putihunggak terdiri dari Sabatin: Tanjungbetuah, Banjakhmanis, dan Bandakhunggak.

Asal Marga Putihdoh ini ialah keturunan bangsawan Kabuai Mikhadatu, Skalabkhak. Yang mula-mula datang ke Putih ialah 5 saudara, yaitu:

1. Dalom Pamotokh Jagad menurunkan Pangeran Sultan Makhga selaku Kepala Adat Kebandakhan Putih.
2. Minak Sinahu menurunkan Panyimbang Suku (Luah Lawang).
3. Khaja Singganung menurunkan Raja Mangku Bandakh.
4. Tapak Gubang menurunkan Bintang Padoman
5. Tedung Pambosokh menurunkan Minak Bangsawan.

Ketika lima saudara ini tiba di Putih dan berdiam beberapa lamanya, seorang dari mereka ialah “Dalom Pamotokh Jagad” yang terkenal dengan panggilan Lanang Akuan meninggalkan Putih menuju Kalianda guna mencari tempat yang lebih baik. Konon Lanang Akuan ini mempunyai keberanian dan kesaktian yang melebihi saudara-saudaranya yang lain. Dapat diperkirakan kesaktian mereka itu menurut riwayat bahwa “Minak Sinahu” keturunan Luah Lawang dapat menyeberang ke Pulau Tabuan hanya dengan selembar kain putih separo diduduki dan separo lagi sebagai layar dengan rasa yakin yang mendalam mengucap “Basmalah”.

Maka ketika kampung Putih yang masih sepi ini diserang oleh bajak-bajak laut (bajau), sehingga ada sebahagian penduduk menghindari bajau ini dengan berpindah ke pedalaman lebih jauh dari pantai, maka jadilah kampung-kampung Tanjungbetuah, Banjakhmanis, dan lain-lain. Berkali-berkali bajak laut itu menyerang dan merampas harta-harta penduduk di sepanjang pantai-pantai yang masih berpenduduk sepi itu.

Bajak-bajak itu diperkirakan bersamaan dengan datangnya Belanda ke Indonesia sekitar tahun 1682, karena pada watu itu banyak perampok (perompak) sebagai bajak laut atau lanum yaitu anak buah Sultan Iskandar, tapi dihancurkan oleh Belanda Tahun 1704. Mungkin juga adalah suku Raas yakni pelaut-pelaut dari kepulauan Mentawai, atau suku Bugis dari Sulawesi.

Karena serangan-serangan bajak laut yang berkali-kali itu maka 4 saudara yang masih tinggal di Putih bersepakat untuk memanggil Dalom Pamotokh Jagat atau Lanang Akuan yang berada di Kalianda untuk kembali ke Putih guna mempertahankan serangan dari para bajau itu.

Mereka juga sepakat untuk mengangkat Dalom Pamotokh Jagad atau Lanang Akuan untuk menjadi pimpinan adat (Kepala Adat) di Kebandakhan Putih. Dia setelah dibujuk, datang ke Putih dengan membawa pedang terhunus sedang sarung pedang itu masih ditinggal di Kalianda. Hal ini konon, yang membuktikan adanya persamaan sejarah antara keturunan Pamotokh Jagad di Kalianda dan di Putih.

Kesepakatan 4 saudara Pamotokh Jagad beserta keputusan sidang makhga oleh beberapa sabatin di lingkungan Kebandakhan Putih untuk mengangkatnya sebagai kepala adat, setelah ia dapat mengalahkan bajau-bajau itu tidaklah disambutnya dengan serta merta, melainkan ia merasa keberatan. Alasannya bahwa dalam pemerintahan itu memerlukan beberapa persyaratan yang belum ia miliki, yaitu: rumah, harta, dan isteri. Keempat saudaranya itu menyanggupi untuk memenuhi kebutuhannya itu, maka ia menetaplah di Putih sebagai Kepala Adat Kebandakhan Putih yang membawahi beberapa sabatin.

1. Sabatin Kedaloman Bandakh

Keturunan Pamotokh Jagad mempunyai kekuatan ke dalam, dalam pemerintahan lingkungan sendiri yang disebut “Sabatin Kedaloman Bandakh.” Sedang kekuatan pemerintahan keluar, kekuasaan memerintah (menguasai) seluruh kesabatinan di lingkungan Kebandakhan Putih.

Sampai dengan ditulisnya “Tulisan” ini pemegang pemerintahan Bandakh ialah Haji Bokhori Gelar Pangeran Sultan Makhga, yaitu deperkirakan keturunan (generasi) ke-12.
Keturunan Kedaloman Bandakh Keturunan Pamotokh Jagad pada gnerasi ke 2 – 4 tidak terdapat, dan untuk selanjutnya keturunan, 5 – 11 sbb:

1. Dalom Pamotokh Jagat
2. –
3. –
4. –
5. Kakhya Singadeda
6. Kakhya Singadega
7. Antowijaya
8. Kakhya Bangsakhatu
9. Batin Jayakrama
10. Pangikhan Syah Bandakh
11. Pangikhan Sultan Makhga

Keturunan Minak Sinahu (Luah Lawang)

1. Minak Sinahu
2. Raja Pangulihan Tuha
3. Kakhuhun
4. Raja Pangulihan Muda
5. Bangsa Alam
6. Minak Lanang
7. Minak Pukhba (H.A. Khauf)
8. K.H. M Yusuf
9. H. Abd. Mu’in
10. Khaja Pangulihan III
11. Khaja Simbangan

Anggota marga yang masih dalam naungan Kebandakhan Putih ini tersebar di Waylima, Pulau Tabuan dll.

Dalam pemerintahan adat ini terdapat pembagian kedudukan, fungsi dan tugas masing-masing. Sebatin Kedaloman Bandakh terdiri dari:

Suku dillom (dalam Istana)

1. Khaja Indra (Dahlan)
2. Khaja Mangkuta Alam (H. Mahmud)
3. Khadin Jaga Mulia
4. Khaja Inti Kesuma
5. Khaja Nukhsiwan (H. Rahim)

Suku Kiri

1. Khaja Simbangan (H. Makmun)

Suku Kanan

1. Khaja Mangku Bandakh (Yunus)
2. Khaja Kemala (M. Rasyid)
3. Khadin Setia (H. Muslim)

2. Sabatin Gedung

Keturunan dari penyimbang Batin Gedung ini berasal dari Lemasa Kepampang atau Tanohunggak, Skalabkhak, yaitu dari Kabuai Samenguk Tamba Kukha. Kesebatinan Gedung ini diperkirakan sejak tua-tuanya lebih dari dulu dari keturunan Kedaloman, tapi menurut keterangan dari kepala Penyimbang Batin Gedung ini baru 9 (sembilan keturunan), hal ini boleh jadi karena hitungan generasi (keturunan antara satu dengan yang lainnya) tidak sama.

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Gedung:

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Pangikhan (H. Abu amin)
2. Suku Kiri: Khaja Kesuma (H. Zaenuddin)
3. Suku Kanan: Khaja Mangku Alam (H. Abd. Mutthalib)

3. Sabatin Pekontengah

Asal usul kesabatinan Pekontengah ini sama dengan keturunan Gedung, yaitu Kabuai Samenguk Tamba Kukha, Tanohunggak atau Skalabkhak. Sebelum sampai di Putih terlebih dahulu mampir di Sanggi (Kepaksian Sanggi Kotaagung). Yang mula-mula datang ke Putih ialah Khaja Samak dan isterinya beserta beberapa punggawa lainnya. Diperkirakan sudah 9 keturunan, sedang Pemangku jabatan “Penyimbang Batin Pekontengah sekarang ini, ialah Haji Djamauddin gelar Dalom Bangsa Khatu.”

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Pekontengah :

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Bangsa Khatu. (H. Jamauddin)
2. Suku Kiri: Khaja Setia (Pulau Kakhangbuah), Khaja Bangsa Saka (Pulau Kakhangbuah).
3. Suku Kanan: Khaja Sepulah (H. Marzuki), Khaja Simbangan (Khuzairin)

4. Sabatin Mandawasa

Kesabatinan Mandawasa baru berdiri sekitar dua keturunan yang resmi diangkat oleh Pangikhan Bandakh. Asal usulnya tidak diperoleh data yang pasti, kemungkinan besar adalah pecahan dari Bandakh. Sabatin pertama ialah Batin Mangunangan (Haji Bashri) dan Pejabat sabatin sekarang ini ialah Batin Junjungan (Haji Damanhuri).

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Mandawasa :

1. Kepala Panyimbang Batin: Batin Junjungan
2. Suku Kiri: Khadin Sampukhna Jaya (Saleh)
3. Suku Kanan: Khadin Bangsa Khaja (Tirmizi)
5. Sabatin Tanjungbatuah

Asal keturunannya adalah Muakha Tanumbang Skalabkhak, Kabuai Semenguk Mikhadatu sama dengan keturunan Sabatin Kedaloman Bandakh. Yang mula-mula datang ke Putih (Tanjung Betuah) ialah 3 saudara:

1. Khaja Ngaliang Jaman menurunkan Pangikhan Pakhdasuka (Kecamatan Pakhdasuka), yaitu terletak sekitar 35 km dari Putih.

2. Makhgi Kesuma yaitu menurunkan Khaja Paksi (M. Syarifuddin) Tanjungbetuah.

3. Sang Liwat Agung, menurunkan Dalom Niti Negakha Kepala Adat Panyimbang Batin Tanjungbetuah. Sang Liwat Agung pergi ke kajenong (Jenong = Nama), untuk untuk memohon pengangkatan nama dari Kesultanan Banten. Dalam perjanjian dengan ketiga saudara di atas tidak bisa dibentuk sabatin Tanjungbetuah lain jika masih dalam satu kampung. Keluarga besar Sabatin Tanjungbetuah ini tersebar di WayLima, Pardasuka dan Gisting.

Seseorang yang termasuk keluarga Bangsawan dari Sabatin Tanjungbetuah ini bernama Tenggekh Dalom pergi ke mudik sekitar 2 kilo meter dari Tanjungbetuah, maka ia mendirikan satu kampung Banjakhmanis dan terciptalah satu Sabatin lagi yaitu Sabatin Banjakhmanis. Sedang sebelumnya terlebih dahulu berdiri Bandakh unggak di kampung Pampangan sekitar 6 km ke ulu dari Putihdoh.

Dikabarkan Bandakhunggak adalah juga berasal dari keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini. Tapi karena akibat perpindah-pindahan penduduk maka Bandakhunggak sekarang hanya terdengar namanya, tinggal bekasnya saja, sedang pemerintahannya tidak ada. Perpindah-perpindahan penduduk Bandakhunggak konon ada yang ke Waylima dan mendirikan kampung dengan nama asalnya yaitu Pampangan, yang kini masuk Kecamatan Waylima-Kedondong.

Perkembangan Sabatin Tanjungbetuah ini makin lama tidak semakin maju (luas) melainkan semakin mundur dan menyempit. karena sebab-sebab antara lain:

1. Serangan-serangan bajau (bajak laut) yang senantiasa datang, tidak bisa di tangkap, menyebabkan berpindahnya penduduk ke mudik yang lebih jauh dari pantai.

2. Adanya suatu pembunuhan dari warga Tanjungbetuah bernama Anto Wijaya terhadap seorang penduduk kampung Putihdoh, yang dijatuhi hukuman diyat (denda atau ganti rugi), yaitu berupa tanah (sawah) milik warga Tanjungbetuah kepada keluarga yang dibunuh.

3. Tidak adanya pembinaan yang mantap terhadap anak buah sehingga banyak keturunan dari Sabatin ini yang berpindah Sabatin.

4. Adanya peraturan (perjanjian) yang tidak membolehkan berdirinya sabatin lain jika masih dalam satu kampung.

5. Perpindahan-pindahan penduduk karena adanya bajau dan meletusnya Gunung Krakatau sekitar tahun 1888, sehingga laut melonjak ke darat dan mengakibatkan abu tebal yang menghambat tumbuhnya tanaman pada beberapa tahun lamanya.

Perpindah-perpindahan itu antara lain: ke Tanjungkakhta, Kububatu, Tanjungrusia, Waykepayang, Pampangan, Waylayap (Kecamatan Waylima-Kedondong),Gisting, Kotadalom (Kecamatan Talang Padang).

Diperkirakan keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini sekitar 12 s/d 13 keturunan. Sedang Sabatin Banjarmanis tidak diperoleh keterangan secara mendetail, hanya menurut keterangan Kepala Panyimbang Batin Tanjungbetuah adalah pecahan dari Tanjungbetuah. Namun sebahagian dari penduduk Banjakhmanis ini masih ikut Sabatin Gedung Putihdoh.

Susunan Pemerintahan Adat Sabatin Tanjungbetuah :

1. Kepala Panyimbang Batin: Dalom Nitinegara (Zubaidi)
2. Suku Kiri: Raja Wijaya (Masuni)
3. Suku Kanan: Raja Paksi A. Syarifuddin)

Keturunan Sabatin Tanjungbetuah sekarang ini tidak diperoleh keterangan yang pasti karena alasan catatan hilang, dikatakan sudah 28 keturunan, tapi keterangan ini meragukan karena kedatangan para bangsawan pendahulu itu ke Putih hampir bersamaan waktunya. Menurut keterangan dari Margi Kesuma keturunan yang ke-2, terdapat catatan dengan tulisan Lampung sebagai berikut:

1. Makhgi Kesuma
2. Adipati Sungsang Khuma
3. Ki Agung
4. Panengon Tanda Nenga
5. Khadin Makhgi
6. Kimmas Tanda Negakha
7. Khaya Besakh
8. Khadin Kutanegakha
9. Khadin Besakh
10. H. M. Said
11. Khaja Singadipati
12. Khaja Kusuma
13. Khaja Paksi

Maka diperkirakan keturunan Sabatin Tanjungbetuah ini sekitar 12 -13 generasi.

B. MAKHGA PAKHTIWI

Marga Pakhtiwi ini mempunyai 2 kebandakhan, yaitu:

1. Bandakhunggak
2. Bandakhdoh.

Bandakhunggak terdiri dari beberapa sabatin, yaitu: Sukakhaja, Kejadian Lom, Kejadian Luah, Gedung, Sukadana, dan Banjakhnegekhi.

Bandakhdoh terdri dari beberapa sabatin, yaitu: Tanjungjati, Tanjungkhaja, Sukapadang, dan Waykhilau. Kebandakhandoh belum diperoleh data tentang asal-usulnya. Sedangkan kebandakhanunggak berasal dari Tanohunggak Skalabkhak. Yang mula-mula datang ke Pakhtiwi tua-tua mereka ialah Das Dipati, Kabuai Sakha. Kini sudah 12 ketururunan. Sedang yang memegang pemerintahan adat sekarang ini ialah Haji Ahmad Syaikhu gelar Ratu Bakhlian keturunan yang kesebelas.

Keturunan dari Bedas Dipati tersebut sebagia berikut:

1. Bedas Dipati
2. Kesayih
3. Mas Chu
4. Khadin Unang
5. Kakhya Unang Negakha
6. Minak Unang
7. Khaja Pukhba
8. Khaja Nitinegakha
9. Batin Zakaria
10. Kakhya Unang Negkhakha
11. Ratu Bakhlian (H. Ahmad Syaikhu)
12. M.Maulana Muhammad Iqbal

C. MAKHGA BADAK

Asal mula keturunan Makhga Badak ini ialah Tanohunggak, Skalabkhak, dari Kabuai SINDI Krue Utara (Olokpandan).

Tua-tua mereka mempunyai 2 saudara:

1. Yang tua Buai Bintang di Krue Lampung Utara.

2. Yang muda Buai Tengklek pergi ke daerah Teluk Semangka yaitu ada 3 saudara:
- Khaja di Bandakh (Badak)
- Batin Pankgikhan di Way Awi (Kecamatan Waylima Kedondong)
- Panjukhit Agung di Tanjung Agung (Way Awi).

Karena para bangsawan ini sifatnya mencari tempat yang baik dan luas untuk masa depan anak keturunannya, maka kampung Badak yang dianggap kurang memenuhi syarat lagi sempit itu ditinggalkan oleh sebagian besar penududuknya. Perpindahan itu berjalan sejak satu sampai dua abad yang lalu. Di rentang masa selama itu menyebabkan anak keturunan yang berada di tempat yang lebih maju seakan-akan tiada mengakui asal-muasal mereka dari Kebandakhan Badak.

Faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan itu selain karena tanahnya sempit juga karena terjadi peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menyebabkan terjadinya tsunami, air laut pasang naik ke darat. Beberapa tahun juga abu tebal masih menyelimuti tanah, yang akibatnya tidak bisa ditanami.

Perpindahan-perpindahan secara spontan juga masih terjadi, karena akibat sukarnya hubungan transportasi ke kota. Memang bertahun-tahun sebelum Orde Baru, belum ada akses jalan darat, yang mungkin kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Wilayah Makhga Badak yang berkembang menjadi beberapa Sabatin itu terletak di lain kecamatan di antaranya di Kecamatan Kedondong dan Waylima.

Sudah berapa keturunan Makhga ini, belumlah dapat diketahui secara pasti, namun menurut catatan dalam permintaan tanah kepada Jonjom diperoleh secara beli adalah pada tahun: sapeku pak likokh (atau pada tahun 1024). Agaknya keterangan ini meragukan karena berdirinya pemerintahan Sultan Hasanuddin sekitar abad ke 16 (enam belas = 1527). Namun dari sudut arti Badak berarti tua (Balak) karena tanahnya tua.

Pemerintahan Adat Makhga Badak menyebar ke pedalaman menjauhi pantai dan mendirikan pemerintahan adat sediri, di antaranya:

1. Batin Pangikhan di Pekondoh Wayawi
2. Dalom... Tanjungagung, Wayawi
3. Batin Paksi Wayawi
4. Batin Singa Makhga, Gedung Dalom Awayawi
5. Batin Panji Pekondoh, Wayawi
6. Batin Kemala Tanjungkhaja Wayawi

D. MAKHGA LIMAU

Asal Makhga Limau adalah Lamasa Kapampang, Skalabkhak. Perjalanan ke Limau melalui Krue, Waykanan, Waykhatai. Yang mula-mula datang ke Limau adalah Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa. Ia mempunyai 2 saudara, yaitu:

1. Pangikhan Kakhai Handak di Bengkulu (Propinsi Bengkulu)

2. Pangikhan Si Agul-Agul Pugungtampak (Krue Utara).

Keturunan Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa ini sampai sekarang sudah 12 genarasi. Karena book (catatan sejarahnya) terbakar dalam peristiwa kebakaran dua kali, maka yang sempat diingat hanya 7 keturunan, yaitu:

1. Pangikhan Khaja Bungsu Sakti Dewa
2. Lansak Batu.
3. Tambak Bata/Waykhatai
4. Dipati Anom
5. KHaja Paksi
6. Pangikhan Bandakhnegakha
7. Sultan Pangikhan Adat (Bunyana).

Kebandakhan ini terdiri dari 4 Panyimbang Batin, Kiri: Gununghaji, Tegineneng dan kanan Padangmanis, Sukanegekhi.

E. MAKHGA KELUMBAYAN

MaKHga Kelumbayan terdiri dari beberapa sabatin antara lain: Negekhi Kelumbayan dan Panyandingan. Keturunan negekhi Kelumbayan belum diperoleh keterangan, sedang keturunan dari Sabatin Panyandingan ialah: Kabuai Gagili, Skalabkhak, termasuk Marga Balau. Mereka mulanya datang ke Padada (Umbulan Pagokh), kemudian ke Napal. Setelah itu ke Kelumbayan. Yang mula-mula datang ialah: Tuan Khaja Akuan dan Khadin Pamuka. Sampai sekarang sudah 8 generasi, yaitu:

1. Khaja Ngukhi Ali
2. Kakhya Raksa Jaya
3. Khaja Timur (Batin Pamuka)
4. M. Ali
5. Kakhya Laksamana
6. Batin Khaja Intan
7. Pangikhan Jaya Sampurna (H. Azhari)
8. Pangeran Pimpinan Makhga (Tamrin).


III. PERPINDAHAN (HIJRAH)


Menurut data yang penulis kumpulkan bahwa kebanyakan penduduk Kebandakhanlima Cukuhbalak telah berpindah ke beberapa daerah yang kini telah berkembang menjadi beberapa kecamatan. Perpindahan itu membawa nama kampung dan juga membawa peraturan adat, bahkan di antaranya ada yang masih tunduk pada pemerintahan adat Kebandakahnlima. Bukti-bukti perpindahan itu antara lain:

1. Adanya nama-nama kampung yang sama dengan daerah asalnya, misalnya: Wayawi, di Banjar Manis – Wayawi di Kedondong.

2. Pampangan di Putih – Pampangan di Waylima.

3. Banjakhnegekhi di Pakhtiwi, di Limau dan Banjakhnegekhi di Waylima.

4. Pardasuka di Putihdoh – dan Pardasuka di Kecamatan Pardasuka,

Sekarang Pardasuka di Putih itu hanya tinggal bekasnya saja yaitu sudah menjadi hutan dan tanaman keras, karena penduduknya habis berpindah. Sejak dua dasawarsa terakhir di tempat ini telah didirikan SMP Negeri dan PLN serta mulai banyak didirikan pemukiman penduduk.

Sebab-sebab perpindahan antara lain:

1. Meletusnya Gunung Krakatau, yang mengakibatkan melonjaknya air laut ke darat (tsunami) dan abu tebal masih menyelimuti tanah pertanian, sawah, sehingga beberapa lama tak bisa ditanami.

2. Situasi tanah pertanian yang tidak memenuhi kebutuhan penduduk, terutama tanah pesawahan, karena daerah ini berbukit-bukit.

3. Perhatian Pemerintah yang kurang, terutama terhadap pembangunan perhubungan (transportasi) jalan darat yang tidak bisa dilalui kendaraan, begitu juga komunikasi dan sarana pendidikkan, sehingga banyak di antara penduduk yang berpindah ke daerah-daerah dekat jalan raya.

4. Perpindahan juga terjadi karena perkawinan, sekolah, menjadi pegawai dll.

PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM ADAT ISTIADAT DAN TRADISI PADA MASYARAKAT LAMPUNG PESISIR

Suatu hal yang menarik tetapi sering kita lupakan tentang Budaya Lampung khususnya pada Adat Lampung Pesisir, yaitu adalah pengaruh Budaya Islam dalam Adat Istiadat Lampung Pesisir. Oleh karena itu, hal tersebut membuat Penulis tergerak untuk memberikan sedikit pengetahuan dalam artikel ini yang berjudul “Pengaruh Budaya Islam dalam Adat Istiadat dan Tradisi pada Masyrakat Lampung Pesisir”.

Sebagai contoh pengaruh Budaya Islam terhadap Adat Istiadat dan Tradisi pada masyarakat Lampung Pesisir di Marga Way Lima dan Cukuh Balak antara lain dapat dilihat sebagai berikut yaitu :

1. Adat Ngarak Maju

Dalam adat perkawinan pada Masyarakat Adat Lampung Pesisir dikenal istilah “Ngarak Maju”. Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju adalah Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin Lampung yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda bahwa si pria telah resmi menikahi dengan si wanita (pengantin perempuan). Dalam tradisi ngarak tersebut unsur yang terpengaruh Budaya Islam adalah penggunaan alat musik Rabana sebagai alat musik pengiring arak-arakan dan pelantunan Salawat dan Syair Arab yang dikenal dengan istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga pada saat pengantin telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka pihak keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki).

2. Adat Manjau Pedom

Adat Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak wanita oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan silaturahmi (yang dianjurkan Islam) antara keluarga pihak mempelai, sehingga terjalin hubungan saudara yang kuat dan saling tolong menolong antar kedua keluarga.

3. Peraturan Bujang Gadis

Dalam peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”, dimana hal ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan tersebut tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup bermasyarakat, serta aturan kesopanan dan kesusilaan.

4. Alat Musik dan Kesenian

Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam adalah Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini kesenian Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.

5. Acara Betamat

“Betamat” berasal dari kata tamat (selesai), tetapi menurut makna adalah membaca sebagian ayat-ayat Alquran (Juz Amma) pada malam hari yang biasanya dilakukan pada saat Khitanan dan Perkawinan. Dalam acara Betamat juga dilakukan pengarakan dari tempat guru ngaji anak-anak atau bujang gadis yang akan melakukan betamat.

6. Acara Khatam Al-Quraan

Acara Khataman Al-Quraan biasanya dilakukan oleh beberapa orang (biasanya kaum bapak dan bujang) di rumah kerabat seseorang yang meninggal, yang biasnya dilakukan (dapat diselesaikan) selama 7 hari disamping acara Tahlilan. Pada zaman dulu, Acara Khataman Al-Quraan dilakukan juga pada saat Acara Sebambangan, yang dilakukan di rumah pihak laki-laki setelah wanita yang dibambangkan menginap 1 hari di rumah kepala adat. Acara ini dilakukan kira-kira sampai 3 - 7 hari oleh bujang-gadis, menungggu keluarga pihak wanita menyusul untuk memberi persetujuan kepada calon mempelai.

7. Acara Marhabanan

Acara Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca Kitab Bersanzi yang dilakukan oleh kaum bapak atau bujang dalam memberi nama seorang bayi. Acara ini dilakukan biasanya pada malam hari di rumah keluarga atau kakek si bayi. Disamping memberi nama seorang bayi, dilakukan juga pemberian kenamongan bayi tersebut (Baca: Adat Namong dalam Masyarakat Adat Way Lima).

8. Tradisi Masyarakat yang lain

Dalam masyarakat banyak tradisi yang masih bertahan dilakukan karena masih dianggap baik dan tidak bertentangan dengan agama, antara lain:

1) Ruahan bersedekah dengan mengundang tetangga dekat guna memanjatkan do’a bagi para saudara mu’min dan muslim yang telah meninggal dunia serta untuk muslimi dan mukminin yang masih hidup, terutama mendoakan para arwah keluarga si pengundang, karena itu disebut “ruahan” (berasal dari kata (ruh). Biasanya dalam undangan tersebut dihidangkan sedikit makanan dan minuman.

2) Tabuh Beduk. Beduk sangat besar fungsinya bagi kehidupan masyarakat di kampung. Beduk tidak boleh dibunyikan sembarang waktu, karena akan menimbulkan kericuhan masyarakat bila dibunyikan tidak sesuai dengan kepentingannya.

Macam-macam tabuh beduk itu antara lain:

a. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat, di bunyikan pada tiap waktu shalat (5 waktu).

b. Tabuh beduk pada waktu shalat Jum’at, di bunyikan 2 x, yaitu jam 11 untuk persiapan, dan 11.30 untuk segera berkumpul.

c. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat tarawih, khusus bulan Ramadhan, di bunyikan dengan nada khusus, sekitar jam 7 sampai jam 7.30 malam.

d. Tabuh beduk bulangekh, di bunyikan sehari menjelang bulan Ramadhan.

e. Tabuh beduk menjelang lebaran bulan Romadhon (I’dul Fitri).